Rabu, 31 Maret 2010

Dengan Foto, Peduli Lingkungan

Guido Umbu Yami dan Xaverius Timo Alupan
Dengan Foto, Peduli Lingkungan

Peduli dan mencintai lingkungan yang hijau, bersih dan sehat tidak saja menjadi perhatian kaum akademisi, politikus, kalangan birokrat, lembaga sosial kemasyarakatan, aktivis lingkungan. Lingkungan juga menjadi perhatian siapa saja, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Bahkan, masalah lingkungan pun sudah menjadi isu gereja.
Dua remaja siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) Seminari St. Rafael Oepoi, Kupang, Guido Umbu Yami dan Xaverius Timo Alupan memperlihatkan kepedulian mereka melalui foto bertema lingkungan. Dengan foto hasil jepretan mereka, keduanya ingin menunjukkan kepada dunia bukti-bukti aktivitas manusia yang secara langsung sering merusak lingkungan.

Karya foto siswa calon imam ini diikutsertakan dalam Lomba Foto dan Esei Komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran, Perantau Konperensi Wali Gereja Indonesia (KWI) yang bertema Merintis Keadilan dan Perdamaian di Indonesia.
Bangga. Itu sudah pasti bagi Guido dan Xaverius. Tetapi sejatinya, keikutsertaan mereka dalam ajang ini bukan sekadar ikut pamer. Dari lomba ini mereka juga ingin menunjukkan perilaku manusia di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang merusak lingkungan. Foto karya mereka berhasil masuk 10 besar nasional dalam lomba tersebut.
Foto karya Guido Umbu Yami bertema pembakaran lahan berhasil menempati posisi II nasional. Sementara foto karya Xaverius Timo Alupan bertema penyumbatan drainase menempati posisi VI. Tak pelak, keduanya bangga luar biasa. Foto-foto mereka terpilih masuk 10 besar dari sekitar 3.000 foto yang masuk ke meja panitia.
Namun prestasi juara dalam lomba tersebut bukan menjadi tujuan dua siswa ini. Mereka hanya ingin menunjukkan bahwa sudah sedemikian parah kerusakan yang dilakukan oleh manusia terhadap alam.
Kerusakan tersebut diyakini berakibat buruk terhadap manusia seperti halnya foto yang menggambarkan warga di Noelbaki yang merusak hutan dengan cara membakar. “Sebenarnya membuka lahan dengan membakar itu sangat tidak baik. Itu sama dengan merusak ekosistem yang ada yang berdampak pada lingkungan. Bukan saja masa sekarang tapi masa depan juga,” jelas Guido saat ditemui di SMA Seminari St. Rafael, Selasa (18/11/2008).
Selain itu, membakar lahan juga mengakibatkan udara tercemar. Apalagi asap hasil pembakaran ikut menyumbang efek rumah kaca yang berdampak pada penipisan ozon.
Menurut Guido, gambar yang diambil dalam foto tersebut adalah tentang warga Noelbaki yang membuka hutan dengan cara membakar pada bulan Oktober lalu. Gambar tersebut sebenarnya bukan sengaja dicari-cari untuk obyek foto. Tidak. Sangat kebetulan dia melihat ada kebakaran lahan ketika itu. Tanpa diperintah, ia pun mengabadikan peristiwa itu.
Guido menuturkan, pesan yang ingin disampaikannya dalam foto tersebut bahwa saat ini masih ada saja orang yang berperilaku merusak hutan. Sementara di sisi lain banyak orang juga berusaha menyelamatkan lingkungan. Ia ingin agar masyarakat mengetahui bahwa perilaku merusak hutan tersebut masih ada hingga kini. Ia pun prihatin bahwa membakar lahan bisa menyebabkan kobaran api yang tidak terkendali sehingga menyebabkan area kebakaran menjadi luas.
“Masih ada cara lain kalau ingin membuka hutan, seperti mencangkul dan menebang pohon-pohon yang ada, tidak harus dengan cara membakar,” jelas remaja kelahiran Kupang, 30 September 1990 dari pasangan (Alm.) Anton Paliosa dan Rambu Mosa ini.
Harapannya, foto tersebut bisa memberikan inspirasi bagi pihak-pihak terkait agar mengambil langkah-langkah menyadarkan orang-orang atas pelaku pembakaran lahan tersebut. Di sisi lain, pelaku pembakaran pun harus bisa melihat bahwa apa yang dilakukan tersebut bisa berdampak pada bencana lingkungan yang mengerikan. (alf)





Drainase, Saluran Air atau Penyakit?


Selain masyarakat pedesaan yang merusak lingkungan, ternyata warga Kota Kupang juga memiliki tabiat kurang baik. Banyak perilaku warga yang mengakibatkan lingkungan tercemar.
Setidaknya perilaku ini ditunjukkan Xaverius Timo Alupan dengan foto yang bertema saluran drainase yang tersumbat. Obyek foto yang berada di Pasar Oeba-Kupang tersebut diambil pada bulan September lalu.
Foto karya Xaverius ini memperlihatkan drainase yang tersumbat akibat warga sekitar yang membuang sampah sembarangan. Sampah-sampah seperti bekas plastik kresek, bungkusan makanan, bungkusan rokok dan berbagai jenis sampah organik dan anorganik, termasuk sampah plastik menumpuk pada salah satu bagian saluran drainase yang mengakibatkan air limbah rumah tangga tergenang.
Air yang berwarna hitam pekat tersebut, menurut Xaverius, menebar aroma busuk dan menyengat. “Jadi, air yang tergenang itu sudah menjadi sarang penyakit. Sayangnya, warga sekitar belum sadar dengan hal itu,” kata Xaverius yang ditemui di SMA Seminari St. Rafael Oepoi, Kupang, Selasa (18/11/2008).
Menurutnya, tujuan dibuatnya drainase adalah agar limbah rumah tangga dalam bentuk cair tersebut bisa langsung mengalir ke tempat pembuangan akhir atau di ujung drainase tersebut.
Perilaku manusia membuang sampah sembarang mengakibatkan aliran limbah yang sudah mengandung unsur penyakit tersebut terhambat dan membentuk kubangan baru. Terang saja, drainase berubah menjadi sarang penyakit dan membuat pemandangan yang tidak menyenangkan.
Xaverius mengatakan, dengan foto ini dia ingin mengajak orang lain agar tidak seenaknya membuang sampah, apalagi membuangnya ke drainase atau saluran got. “Yang jelas, saya sangat prihatin dengan pemandangan itu. Sebenarnya saluran got ya untuk air, sedangkan sampah harus dibuang di tempat sampah,” jelasnya.
Dari foto karya itu, Xaverius juga ingin mengajak para remaja untuk menunjukkan kepedulian mereka terhadap lingkungan. Caranya, ya dengan tidak membuang sampah di sembarang tempat. Remaja juga bisa berkreasi mendaur ulang sampah menjadi benda-benda yang bisa digunakan lagi. Paling tidak, sampah yang ada dipisahkan menjadi sampah basah (organik) dan sampah kering (anorganik). Sampah organik tersebut bisa diolah lagi menjadi pupuk kompos atau pupuk organik. Siapa peduli? (alf)

Pos Kupang, Minggu, 23 November 2008
Halaman 14, Bumi Kita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar